Ini Pengalaman Beli Rumah Subsidi, sebelum saya akhirnya memutuskan untuk menjadi Marketing rumah subsidi/ Dari brosur kergtas art carton sampai iklan Facebook Ads, dari klien pertama tanya “DP-nya bisa nol?” sampai closing sambil pakai sandal karena hujan becek di lokasi—semuanya pernah saya jalani.
Tapi satu hal yang belum pernah saya lakukan sebelum jadi marketing rumah subsidi waktu itu: beli rumah untuk diri sendiri.
Suatu hari, seorang teman marketing juga, nawarin unit rumah subsidi di Cileungsi. Saya tanya, “Cileungsi mana dulu nih? Yang deket Jonggol atau yang udah nyaris Bogor?”
Karena terus terang saja—meskipun saya paham betul sistem FLPP dan cicilan 800 ribuan di 2016, yang menggoda iman—saya juga terjebak dalam mentalitas klien saya sendiri:
“Murah sih, tapi kok jauhnya keterlaluan ya?”
Saya tinggal di Bekasi waktu itu. Kota yang dulunya rawa-rawa sekarang udah jadi lautan beton, lampu merah, dan ojek online. Ngebayangin pindah ke Cileungsi tuh kayak diajak balik ke versi primitif Bekasi tahun 90-an. Jalanan sepi, sawah di mana-mana, sinyal kadang cuma Edge (dan itu pun kayak ilusi).
Tapi kemudian… Bapak saya nyeletuk satu hal yang bikin otak saya berhenti buffering:
“Kalau rumah murah nunggu lokasinya rame dan aksesnya gampang, ya nanti gak bakal murah lagi. Nanti malah dapatnya makin jauh lagi.”
Zzzzt. Mic drop. Checkmate. Skakmat anak muda idealis urban.
Dan saya mulai mengingat waktu kecil, ketika keluarga kami pindah ke Bekasi yang saat itu belum jadi kotamadya. Bahkan nama jalan di sekitar rumah kami mayoritas pakai embel-embel “Rawa” dan “Lumbu.” Hari ini? Rumah-rumah itu sudah naik harga 600% dan jadi rebutan investor.
Jadi akhirnya, saya menelan gengsi, merobek brosur dengan mata setengah rela, dan bilang:
“Oke. Tunjukkan di mana rumah subsidi Cileungsi itu berada.”
Setelah hati sedikit lebih “ikhlas”—atau mungkin lebih tepatnya terpaksa legowo—saya mulai masuk ke fase yang disebut oleh banyak orang sebagai: proses KPR subsidi. Di sinilah orang diuji antara pengen punya rumah dan mampu punya rumah.
Saya mulai siapin kumpulin dokumen standar:
Tapi baru sampai tahap itu aja, saya udah mulai paham: punya rumah tuh nggak cukup niat. Harus tahan sabar dan tahan napas waktu buka dokumen satu-satu dan sadar… “oh, ternyata gue cukup siap juga ya?”
Saya sempat siapin mental buat buka hasil BI Checking, karena denger dari cerita teman-teman, dokumen ini kayak buku harian yang membuka aib keuangan masa lalu. Tapi pas hasilnya keluar… ternyata saya masih bersih. Suci. Tak ternoda. 😇
Gak ada cicilan motor, gak ada kartu kredit, apalagi pinjol—yang pada 2016 belum seramai sekarang. Saya memang orangnya anti utang. Nggak idealis juga sih, cuma waktu itu utang memang belum jadi gaya hidup.
Tapi dari situ saya sadar—ternyata banyak orang yang gugur di titik ini. Ada yang dulu ambil cicilan furniture, ada yang telat bayar kartu Halo, bahkan ada yang ketiban dosa pinjol karena jadi penjamin temannya.
Makanya saya bersyukur dan juga prihatin. Karena kadang pengajuan rumah gagal… bukan karena kita gak mampu bayar, tapi karena masa lalu kredit kita dinilai ‘tak sesuai norma perbankan’. Dan ironisnya, kita baru tahu ketika udah nunggu akad.
Kadang, yang bikin pengajuan kita ditolak… bukan karena kita, tapi karena versi lama kita yang belum kita perbaiki.
Ini yang banyak orang kira sebaliknya. Mereka pikir saya beli rumah karena saya marketing. Padahal faktanya: saya beli rumah subsidi justru sebelum saya terjun ke dunia itu.
Dan jujur aja, pengalaman pribadi itulah yang bikin saya akhirnya jadi marketing rumah subsidi.
Bukan semata-mata karena closing fee atau target bulanan (meskipun itu juga gak salah), tapi karena saya sadar: terlalu banyak orang yang menganggap rumah harus strategis dan mewah. Padahal… yang paling penting itu punya dulu aja. Yang penting “nempel” di BPN, bukan di mimpi doang.
Saya pengin ubah sudut pandang itu—dari satu calon pembeli dan ke ratusan konsumen lainnya yang tentu tidak dalam sekali waktu.
Lanjut ke Bab 3 ya: Survey Lapangan, Jalanan Tanah Merah, dan Pertanyaan ‘Apa Gue Salah Ambil Rumah?’ 😅
Hari H pun tiba. Saya survey ke lokasi rumah subsidi yang saya pilih—sebuah cluster mungil di pinggiran Cileungsi. Waktu itu, saya ngebayangin semacam inspeksi formal, seperti sidang skripsi. Ternyata… lebih mirip ikut tur lokasi sambil nahan deg-degan.
Saya naik motor ke lokasi, ditemani gerimis ringan yang bikin jalanan tanah berubah jadi jelly cokelat rasa licin. Ban motor saya nyaris kehilangan iman. Sampai di depan blok rumah, sepatu saya sudah separuh jadi sepatu lumpur. Sepintas saya berpikir, “Apa ini akan jadi jalan saya pulang kerja nanti tiap hari?” 😂
Untungnya unit rumah yang saya pilih sudah berdiri. Dindingnya rapi, kusen jendela sudah dipasang, meskipun belum ada pagar. Tapi saya jujur tertegun—bukan karena kagum, tapi karena sadar ini bukan rumah yang saya impikan waktu kecil.
Ini bukan rumah dengan taman kecil dan carport dua mobil, bukan rumah yang ada bathub atau langit-langit tinggi ala rumah di sinetron. Tapi ya… rumah ini punya satu hal yang gak dimiliki rumah manapun yang belum saya cicil: legalitas dan kepastian.
Marketing Perumahan datang pakai sepatu boots dan brosur sambile menjelaskan. Senyumnya tipis tapi jelas. Ia langsung menjelaskan beberapa hal:
Saya pun diajak ngobrol ringan soal pekerjaan, penghasilan, dan “niat” menempati rumah. Kayak semacam interview spiritual dari sistem perbankan.
Saya jawab sejujur-jujurnya:
“Saya belum tahu apakah bisa langsung ditempati. Tapi niat saya bukan buat disewain. Saya cuma pengin punya tempat buat pulang.”
Dia hanya mengangguk, mencatat sesuatu, dan bilang:
“Semoga prosesnya lancar, Mas.”
Dan jujur, di momen itu saya nggak tahu apakah “semoga” itu doa atau kode halus bahwa pengajuan saya masih bisa digoyang takdir. Tapi saya diam. Saya cengkeram genggam motor yang basah, dan bilang ke diri sendiri: “Udah lewat satu tahap lagi.”
Setelah survey lapangan selesai dan petugas bank pulang dengan wajah datar penuh teka-teki, saya kembali ke rumah dengan perasaan campur aduk. Sebagian diri saya optimis, sebagian lagi… ya biasalah, manusia.
Waktu itu, saya sudah tergabung dalam grup WhatsApp calon penghuni perumahan. Grup itu isinya kombinasi sempurna antara:
Yang paling bikin deg-degan adalah kabar soal jadwal akad dari bank BTN. Karena ketika ada yang bilang,
“Guys, gue udah dapet jadwal akad besok!”
Pikiran saya langsung: “Lho, kok dia duluan? Padahal dia ngumpulin berkas belakangan.”
Tapi kemudian saya sadar, bahwa proses ini bukan antrian supermarket. Ada yang lolos lebih cepat karena dokumennya lebih rapi. Ada yang ditunda karena rumahnya masih 40% jadi. Dan ada juga—maaf ya—yang nekat maksa maju padahal slip gajinya ditulis pakai coretan tangan. 😅
Saya tiap hari mantengin grup. Ada yang update:
Grup ini seperti mix-tape emosi. Di satu sisi menenangkan, di sisi lain bikin overthinking. Tapi saya tetap aktif—karena setidaknya saya tahu, saya tidak sendirian di dunia orang-orang yang pengin punya rumah dengan cara yang realistis ini.
Satu hal yang saya pelajari dari fase ini: sabar itu bukan berarti diam. Sambil menunggu, saya revisi dokumen, minta developer perbaiki data, cek ulang BI Checking, dan update informasi ke petugas bank.
Karena rumah bukan datang dari langit. Tapi dari akumulasi usaha kecil yang konsisten.
Tahun 2016. Satu tanggal yang nggak akan saya lupa. Hari di mana pengajuan KPR saya akhirnya… disetujui.
Saya masih ingat rasa yang muncul waktu itu: bahagia, tentu saja. Tapi juga ada rasa asing yang mampir pelan-pelan—kayak senyum tapi sambil kecut di dalam hati.
Karena realitanya, saya akan mencicil Rp830.000 per bulan… selama 20 tahun.
Dua puluh tahun, bro. Itu kalau rumah saya manusia, sekarang dia udah jadi mahasiswa semester akhir.
Waktu pertama kali cicil, 830 ribu itu kerasa banget. Apalagi gaji saya waktu itu belum sedinamis sekarang. Tapi karena flat, saya nggak perlu takut cicilan naik. Dan alhamdulillah, seiring waktu dan rezeki yang membaik, angka 830 ribu itu… jadi relatif ringan.
Tapi jujur, meski gak berat lagi—tetap terasa. Karena di kepala saya, itu bukan “bayar biasa”. Itu utang. Setiap tanggal jatuh tempo, saya tetap cek kalender dan saldo. Karena sesantai apapun hidup sekarang, cicilan itu tetap jadi pengingat: “Kamu belum selesai, bro.”
Di tengah rasa kecut itu, saya sempat refleksi:
“Kalau saya waktu itu gak ambil rumah ini, dan pilih ngontrak… kira-kira sekarang ngontrakan saya udah berapa?”
Mungkin udah 1,3 juta per bulan. Dan 9 tahun itu berarti udah lebih dari 140 juta yang “menghilang” tanpa bentuk, tanpa sertifikat, tanpa pagar yang bisa saya cat merah marun sesuai selera.
Itu yang akhirnya bikin saya sadar, bahwa cicilan rumah subsidi ini bukan beban. Tapi perlahan jadi aset diam-diam. Uang saya nggak hilang—dia berubah bentuk: jadi tembok yang bisa dilap pakai pembersih dinding, jadi lantai yang bisa direnovasi, jadi atap yang bisa saya banggakan meskipun masih asbes.
Hari akad itu aneh. Tangan saya pegal karena harus tanda tangan di setiap dokumen, sampai saya merasa kayak orang penting yang baru menang lelang. Tapi yang paling membekas adalah momen ketika petugas bank bilang:
“Selamat ya, ini rumahnya atas nama Bapak sekarang.”
Itu dia. Tiga kata yang selama ini saya kejar diam-diam di antara tumpukan map, scan KTP, dan jalanan tanah merah.
Kalau kamu tanya, “Apakah saya puas dengan rumah subsidi yang saya ambil?”
Jawaban jujurnya: puas… sambil sadar bahwa puas itu bukan berarti sempurna.
Rumah saya jauh dari ideal. Lokasinya butuh sedikit perjuangan, view-nya belum bisa disebut estetik, dan ukuran dapurnya bisa bikin tukang mie instan mikir dua kali. Tapi dari rumah itulah saya belajar satu hal penting:
Punya rumah bukan soal gaya. Tapi soal nyawa yang tenang.
Karena selama saya tinggal di situ:
Rumah subsidi ini ngajarin saya banyak hal:
Saya nulis semua ini bukan karena pengin bilang “Ayo beli rumah sekarang juga”—bukan, juga karena saya marketing biar jualan rumah saya nambah banyak( meski itu juga jadi salah satunya)
Tapi karena saya tahu banyak dari kamu yang nunggu nanti: nanti pas gaji naik, nanti pas lokasi ideal, nanti pas duid udah banyak, nabung aja buat beli cash.
Padahal… nanti itu jarang datang.
Dan siapa tahu, justru keputusan yang kamu ambil sambil masih ragu itulah yang membawamu ke tempat yang akhirnya kamu sebut: rumah.
Karena rumah itu bukan bangunan. Rumah itu… keputusan kecil yang kamu ulang setiap hari. 🏡💛
Oke, sekarang kamu udah baca kisah saya dari awal ditawari rumah subsidi, sampai sekarang udah masuk tahun ke-9 cicilan. Tapi sebelum kamu ikut jejak ini—baik karena yakin, terpaksa, atau karena nggak ada pilihan lain—izinkan saya nitip beberapa bekal mental.
Ini bukan checklist dokumen, tapi checklist batin.
Siap-siap dengar komentar klasik:
“Loh, rumah kamu di mana? Jauhnya ampun-ampunan ya?”
“Ke kantor berapa jam tuh?”
Jangan defensif. Nggak usah ngotot jelasin peta dan rencana tol masa depan. Diamin aja. Biar waktu yang jelaskan, sambil rumah yang kamu miliki ini naik harga, dan mereka yang bertanya tetap ngga punya apa2.
Dindingnya mungkin masih semi-abu, keramiknya motif kotak2 biasa dengan retakan di sana-sini, dan dapurnya cuma selebar karpet welcome. Tapi semua itu sah—karena rumah ini kamu cicil sendiri, bukan hadiah dari paman kaya fiktif.
Kalau memang belum bisa posting estetik, posting aja progress: pagar baru, cat baru, ember cuci piring naik level.
Di awal, mereka mungkin anggap kamu nekat. Tapi nanti saat kontrakan mereka naik terus dan rumah kamu udah hampir lunas… siapa tahu mereka tanya,
“Bro, dulu lo ambil KPR di mana ya?”
Kadang jadi pelopor itu sepi. Tapi sepi itu nggak berarti salah arah.
Yup, rasanya tetep “berasa”. Tapi beda jauh dibanding bayar kontrakan yang gak pernah balik jadi aset.
Kalau kamu konsisten, tiap bulan itu adalah langkah kecil yang mendekatkanmu ke satu-satunya properti yang benar-benar kamu punya: tanah sekian meter dan atap yang kamu rawat sendiri.
Rasa puas itu nggak instan. Tapi dia datang diam-diam: waktu lihat meteran listrik kamu sendiri, waktu ngelap kaca jendela rumah kamu sendiri, atau sekadar duduk sore di teras sambil bilang,
“Ini rumah saya.”
Gak semua orang harus punya rumah di usia muda. Tapi semua orang berhak untuk mulai bermimpi punya. Dan rumah subsidi itu, sekecil dan sejauhnya apa pun, bisa jadi langkah pertamamu ke arah itu.
Saya dulu skeptis. Sekarang? Saya senyum—sambil bayar cicilan ke-109 dari 240 yang dijanjikan.
Jadi kalau kamu lagi ragu, mungkin ini saatnya gak nunggu “nanti.” Karena rumah gak nunggu siapa yang paling ideal. Rumah datang ke mereka yang berani ambil langkah pertama. 🏡✨
Tulisan ini bukan hasil riset lembaga survei atau olahan statistik dari spreadsheet pemerintah. Hasil riset…
Pendahuluan: Cinta, Kredit, dan Lajang Abadi Rumah Subsidi untuk Freelancer realita pahit sumber pendapatan negara…
Ketika Harapan Terpaksa Ditunda "Akhirnya... rumah pertama." Begitu pikir Dinda saat keluar dari kantor pemasaran…
Bukan Rumah Murahan, Tapi Rumah dengan Perjuangan Kisah “Si Raka” dan Perjuangannya Mengejar Rumah Impian…
Apa Kabar Para Pejuang Rumah Mini? menata ruang di rumah kecil memang memiliki tantangan sendiri,…
🏡 Oper Kredit Rumah KPR Subsidi: Panduan Lengkap & Jujur untuk Pemula “Bro, gue baru…